Kalau Gagal, Kita Siap. Kalau Berhasil, Bagaimana?

Kalau gagal gimana?

Pernah terlintas pertanyaan semacam itu saat kita hendak memulai sesuatu yang baru? Entah saat melamar pekerjaan, memulai bisnis, mengikuti lomba, atau bahkan sekedar naik ke fase hidup lainnya. Pertanyaannya singkat dan sederhana, tapi bisa membuat kita tiba-tiba ragu untuk mencoba.

Saya pun pernah di posisi tersebut. Belum melakukan apa-apa tapi sudah dihantui kegagalan. Seolah kegagalan adalah akhir segalanya. Tapi seiring banyaknya melalui jatuh bangun, saya menyadari bahwa ternyata kegagalan tidak seseram itu.

Manusiawi jika merasa kejatuhan itu sesuatu yang tidak mengenakkan. Tetapi dari sana, kita bisa memahami cara yang tepat, jalan yang benar, arah tujuan pun jadi terlihat lebih jelas. Karena untuk mendapatkan kebenaran, kita perlu tahu bagian yang salah.


Masalahnya terkadang kita sering terjebak dengan pertanyaan, “Kalau gagal, gimana?” sampai lupa ada pertanyaan lain yang tak kalah penting: “Kalau berhasil, bagaimana?”

Terkadang kita lebih sigap untuk menghadapi kegagalan daripada mencapai keberhasilan. Sejak kecil, kita sudah mendapat gambaran bahwa gagal itu menyakitkan—kita bisa sedih, terluka, atau merasa tak berdaya. Maka selain belajar, kita juga menyiapkan diri kalau gagal ya berarti harus bangkit lagi, kalau jatuh harus coba lagi.

Namun, siapa yang pernah mengajarkan kita bagaimana bersikap saat berhasil? Tidak banyak. Padahal kemenangan juga bisa menjadi ujian. Setelah euforia perayaan, ada hal-hal yang harus dijaga: tetap rendah hati, menjaga growth mindset, dan tetap profesional di segala kondisi.

Pada bagian tertentu juga terkadang keberhasilan bisa membuat kita lengah, terlena, bahkan lupa diri. Maka dari itu, merayakan keberhasilan artinya bukan perjalanan telah selesai. Justru di sanalah babak baru dimulai: bagaimana kita mempertahankan kualitas, bagaimana kita tetap rendah hati, dan bagaimana kita terus belajar agar keberhasilan itu tidak berhenti hanya pada sekali pencapaian.

Maka, setelah bertanya “Kalau gagal, gimana?” pertanyaan selanjutnya adalah… “Kalau berhasil, apakah aku siap?”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *