Tadi pagi…
Dari jauh, saya melihat 2 orang anak SD menghampiri sebuah sekolah, tepat di pos tempat satpamnya yang sedang kosong, mereka memberikan tonjokan kepada seorang bocah MI. Anak-anak disekeliling mereka terdiam dan hanya menonton. Bocak MI itu menangis. Setelah puas memberi kepalan tangannya, siswa SD itu kemudian pergi.
Setelah mendekati area itu, saya menghampiri para penonton dan bertanya kepada salahsatu murid disana
“Kenapa diam saja, ayo lapor ke gurunya”
“Biarin, bu, anggap saja tontonan”
Iyaaappp.. dengan polosnya, dia anggap peristiwa kekerasan adalah tontonan. Hmm.. mungkin bukan hanya dia tetapi juga mereka semua yang menyaksikan.
Entah apa yang konslet difikiran kita hari ini. Ramai orang menganggap bahwa kekerasan, pelecehan dan penistaan sebagai suatu tontonan yang menarik. Mereka mengerubungi lalu melihat. Apa hidup sudah terlalu keras untuk sekedar menampilkan rasa empati dan simpati? Atau ternyata hanya hati kita saja yang membatu?
Mungkin anak-anak yang saya ceritakan diatas tidak sepenuhnya salah, karena mereka masih dalam kategori peniru. Iya mereka ‘dituntun’ oleh orang dewasa yang kekanak-kanakan. Yang lebih percaya kekuatan adalah pusat kejantanan daripada mengedepankan otak dan hati. Mungkin kita juga patut berterima kasih kepada para stasiun tv yang tragisnya masih menyiarkan sinetron-sinetron tidak bermutu, yang berisi kisah menye-menye tak terlihat manfaatnya.
Peristiwa pagi ini mengingat kembali bahwa banyak sekali tugas kita sebagai pemuda karena selain wajib menjadi orang baik, kita juga bertugas memperbaiki lingkungan.