Mengeja KehendakNya, Walau Harus Terbata

Saya pikir-pikir, saya sedih. Begitu kesimpulanku saat akhirnya harus memvalidasi pikiran sendiri.

Adulting is mau merasakan sedih pun harus berbagi waktu dengan work and social life. Ketika airmatanya sudah merata di kelopak mata, tetapi harus segera menghapusnya karena ada pekerjaan yang menggedor-gedor layar gawai. Perasaan seperti kecewa pun harus melipir sejenak karena wonder women ini harus tegak kembali menghadapi dunia.

Untuk merasakan sunyi, kita harus menyelesaikan ramainya tanggungjawab yang bertebaran. Sesekali berkeinginan menikmati rasa, kita harus mencari waktu yang tepat di antara yang rapat.

Segala gundah itu pun tertahan di dada. Dan terkadang bukan tangisan yang keluar, ia tampil dalam bentuk lain seperti asam lambung, demam ataupun sakit kepala. Lagi-lagi, harus mencari alasan yang terlihat lebih masuk akal agar bisa memperoleh jeda.

Dan apakah harus memilih kalah? Ingin jawab iya, tapi hati lebih sering berkata tidak. Walau ada pilihan menyerah. Tetapi manusia dewasa tidak pernah ditakdirkan untuk hanya berserah. 

Lalu, di tengah sedih-sedihnya, teringat sebuah ayat yang mengisi sanubari dengan lembutnya. Sebaris ayat yang berbunyi:

“Apa saja di antara rahmat Allah yang dianugerahkan kepada manusia, maka tidak ada yang dapat menahannya. Dan apa saja yang ditahanNya, maka tidak ada yang sanggup untuk melepaskannya setelah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (QS. Fathir: 2)

Sebuah ayat tentang takdir. Allah memperlihat kuasanya dengan bijaksana. Sebagai penerang dari gulita. Sebuah penenang dari badai.

Maka dari itu, meski tidak selalu yakin akan langkahnya, prosesnya, hasilnya, tetapi kita selalu percaya ada hal-hal baik yang dihidangkan khusus untuk orang-orang yang berikhtiar dengan sempurna.

Sebagai muslim, ada hal yang lebih penting dari sekedar mencapai asa, yaitu bersungguh-sungguh menggapai ridho Allah atas segala urusan yang diamanahkan.

Sehingga walau harus terus berkata “Ya Allah, Ya Allah…” dan dengan hati yang dikuat-kuatkan, kita berjanji akan terus melaju. Kerikilnya memang pasti ada, tetapi kita lebih yakin ada Allah yang menemani.

Keyakinan kita pada Allah harus lebih besar daripada keyakinan kita pada diri sendiri. Karena terlalu lemah diri manusia, jika hanya bersandar pada kemampuannya.

Jadi, Selamat berjuang, wahai diriku dan kamu yang membaca ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *