Bagi masyarakat yang tinggal di Palembang atau umumnya di keseluruhan Sumatera Selatan pasti sudah tidak asing dengan Tanjak, yaitu hiasan kepala yang dipakai oleh para pria saat menghadiri acara-acara penting seperti pernikahan, kegiatan pemerintahan ataupun adat.
Tanjak yang berbentuk topi dengan bentuk kerucut ke atas ini merupakan warisan budaya asli kota Palembang, Sumatera Selatan.

Sejarah, Filosofi dan Jenis-jenis Tanjak
Dikutip dari situs kemdikbud.go,id, Tanjak merupakan pakaian adat kesultanan Palembang Darussalam. Sekitar tahun 1850, Tanjak dipakai oleh para bangsawan pada saat itu. Dan walau Kesultanan Palembang telah berakhir, Tanjak masih sering dipakai oleh masyarakat Palembang, terutama pada acara-acara penting.
Sebagai pembuktiannya, dapat dilihat pada beberapa sketsa atau lukisan Perang Palembang (1819-1821), Peristiwa 4 Syawal/Pengasingan SMB II (3 Juli 1821), Perang Jati (Lahat) pada tahun 1840an, Perang Gunung Merakso (Lintang) tahun 1845, Perang Mutir Alam (Besemah) tahun 1860 dan bukti lainnya.

Menurut Sejarawan Palembang, Kemas Ari Panji, Tanjak berasal dari kata nanjak yang artinya adalah naik, meninggi atau ke arah tempat yang lebih tinggi. Dengan bentuknya yang segitiga dan mengerucut ke atas, maka peruntukkannya kepada Tuhan.
Jadi, diharapkan seseorang yang memakai Tanjak akan ditinggikan derajatnya. Dan apabila menginginkan kehidupan yang lebih baik, maka harus berdo’a kepada Sang Pencipta.
Bahan yang biasa dipakai untuk membuat Tanjak adalah batik dan songket Palembang. Sedangkan jenis-jenis Tanjak menurut sejarahnya, ada tiga macam, yaitu:
- Tanjak Meler, terbuat dari kain tenun tradisional Palembang sekitar tahun 1870
- Tanjak Kepundang, terbuat dari kain tenun Palembang sekitar tahun 1900
- Tanjak Bela Mumbang, tanjak khusus untuk penutup kepala Pangeran Nato Dirajo dan keturunannya
Untuk Tanjak yang masih sering digunakan masyarakat Palembang untuk acara-acara adat, memiliki ciri seperti ada 3 susun lipatan, dilipatan segitiga ada lipatan sedikit ke depan sebelah kiri, tinggi kain Tanjak tidak lebih dari 5 jari, dan kain yang dipakai bermotif Kerak mutung, Gribik dan Jufri.
Tanjak Sebagai Warisan Budaya
Dengan ditetapkannya Tanjak Palembang sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTb) Indonesia, maka dari itu, Gubenur Sumatera Selatan menerbitkan peraturan daerah provinsi Sumatera Selatan no 2 tahun 2021. Peraturan itu berisi tentang arsitektur bangunan gedung berornamen jati diri budaya di Sumatera Selatan.
Adapun gedung yang diharuskan memiliki unsur arsitektur berornamen jati diri budaya di Sumatera Selatan, meliputi gedung milik pemerintah provinsi, BUMN/BUMD, bangunan atau fasilitas umum milik pemerintah provinsi dan bangunan swasta yang berada pada kawasan cagar budaya Sumatera Selatan.
Pada pelaksanaannya, unsur arsitektur berornamen jati diri budaya di Sumatera Selatan ini wajib dilaksanakan pada bangunan baru milik pemerintah. Dan untuk bangunan lama, maka bisa menyesuaikan melalui proses renovasi atau rehabilitasi. Sedangkan bagi gedung milik swasta, maka dianjurkan untuk menyesuaikan dengan ketentuan yang terdapat pada peraturan daerah.

Peraturan daerah yang sudah disahkan oleh DPRD Provinsi Sumatera Selatan ini bertujuan untuk memajukan dan memanfaatkan nilai budaya masyarakat Sumatera Selatan, mendorong serta memberdayakan nilai-nilai arsitektur gedung beronamen budaya di Sumatera Selatan. Hal tersebut diharapkan mampu memperteguh jati diri masyarakat dan budaya Sumatera Selatan.
Selain itu, dengan dibuatnya ornamen Tanjak di tiap bangunan di Sumatera Selatan, diharapkan bisa menjadi pemersatu warga Sumsel, serta bisa mendorong terwujudnya peningkatan destinasi dan daya tarik pariwisata di Sumatera Selatan.
Dengan dijadikannya Tanjak sebagai ornamen wajib bangunan gedung perkantoran di Sumatera Selatan, maka itu bisa dijadikan tanda bentuk komitmen pemerintah provinsi Sumatera Selatan dalam menjaga budaya lokal. Sebagal langkah awal, ornamen Tanjak sudah menghiasai pintu gerbang Griya Agung.