Salahsatu wishlist saya itu mengajar di penjara. Bertahun-tahun lalu, ada teman yang mengajar tahsin di sebuah penjara. Awalnya saya mau ikut mengajar di sana, tetapi karena saat itu saya masih tinggal di luar pulau Jawa, jadi tidak bisa.
Hingga suatu siang dipertengahan bulan November 2024, Mas Hary, seorang teman lama, mengabari bahwa ia sedang membuat program untuk kegiatan pelatihan literasi di sebuah rutan perempuan di Jakarta yang outputnya nanti peserta bisa membuat cerpen dari pengalaman hidupnya. Karena saat itu ia sedang mencari mentor, maka ia menanyakan kesediaan saya untuk mengisi pelatihan tersebut. Dan tentu saja saya mauuuuuu.

Sesuai kesepakatan bahwa pelatihan tersebut akan diadakan tiap Rabu pukul 13.00 selama 4 kali pertemuan. Maka, tibalah hari Rabu, tanggal 4 Desember 2024 sebagai awal perjumpaan antara saya dan teman-teman warga binaan berjumlah 20 orang di rutan perempuan Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Dengan didamping Mbak Echa dan Mbak Embun, perwakilan dari BUMN yang menjadi penyelenggara kegiatan tersebut, saya berbagi tentang dunia menulis cerita pada teman-teman di rutan. Setelah materi dan berbagai tanya jawab selesai, biasanya kami memilih untuk saling berbincang layaknya antar perempuan saat bertemu.
Biasanya di tengah perbincangan, selalu ada tanya jawab yang unik. Dan salahsatu pertanyaan paling membekas dari seorang mbak berjilbab yang duduk di paling depan dan terlihat paling bersemangat saat pelatihan. Ia bertanya “Setelah Mba Hayati datang ke sini, apakah orang-orang di penjara seseram yang dibayangkan?”. Saya tersenyum mendengarnya “Kebetulan, saya ga pernah membayangkan penjara itu sesuatu yang menyeramkan, Mba. Mungkin karena efek saya pernah nonton drama korea berjudul Prison Playbook ya, jadi bayangan saya tentang penjara adalah yang ada dalam drakor tersebut. Jadi saat saya ke sini ya biasa saja, seperti sedang bertemu teman-teman baru saja.”
Di lain waktu, salahsatu di antara peserta pelatihan mendekat ke meja saya. Walau terlihat sedikit ragu dan malu, matanya berbinar-binar saat bercerita kalau ia sedang menulis novel. Dia menuangkan potongan pemikiran dan perasaannya tersebut pada sebuah buku tulis di sela hari-harinya di sini. Tentu saja saya sangat excited saat ia menawari untuk membaca hasil tulisannya tersebut.
Selama empat kali perjumpaan pelatihan literasi, saya mulai menghafal nama teman-teman di rutan. Biasanya setelah pemberian materi dan tugas, kami terbiasa untuk berbincang-bincang dahulu seperti apa sih yang lagi hype di luar, sekarang lagi musim apa, atau sekedar menceritakan kegiatan dan keluarga masing-masing. Hingga pada pertemuan terakhir, kami berfoto bersama dan berjanji untuk saling follow akun social media masing-masing saat sudah waktunya mereka bisa memegang handphone kembali.
Sebagai seseorang yang terbiasa menciptakan tokoh beserta karakternya. Maka, saya sangat percaya bahwa setiap orang memiliki sisi hitam dan putih yang diketahui banyak orang ataupun yang tersembunyi dari pandangan. Maka, saat saya bertemu dengan teman-teman ini, saya seperti mendapat sebuah kisah hidup yang sangat mahal.

Malam ini, satu jam yang lalu sebelum saya menulis postingan ini, saya membaca kisah-kisah yang mereka tulis di kertas. Setiap lembarannya membuat saya kadang terdiam sejenak untuk merenung, kadang menghela napas menahan sesak. Sebuah bagian hidup yang saya yakin belum tentu kuat jika saya yang menjalaninya.
Mereka adalah perempuan-perempuan tangguh yang banyak belajar dari kehidupan. Perjalanan keikhlasan dan penghayatan hidupnya tentu berbeda-beda, tapi jalan kebaikan tetap terlihat terang.
Masa lalu sudah berlalu, masa depan masih suci. Maka, semoga semua episode bertabur hikmah yang pernah ada menjadi gerbang untuk menjalani hidup dengan lebih baik.
Tinggalkan Balasan